Ketidaknetralan Jurnalisme dalam Konflik Papua

Konflik di Papua bukan merupakan hal baru di Indonesia. Akan tetapi, media jarang mengungkap hal tersebut secara detail. Konflik terbaru yang terjadi di Papua, terjadi pada bulan November lalu, dengan penyanderaan 1500 orang.

Sebetulnya apa sih yang membuat konflik di Papua jarang di liput? Di lokasi pertambangan Freeport misalnya, situasinya sangat rumit. Orang biasa dan wartawan tak diizinkan masuk ke kawasan itu karena alasan masuk akal yang bisa mengganggu operasional maskapai tambang dari Amerika Serikat tersebut.

Tetapi laporan-laporan yang muncul ke publik juga menyebut bahwa ada banyak penambang tradisional di sekitar areal itu, yang mendulang limbah tambang emas di sepanjang lima sungai yang berbahaya bagi kesehatan karena sudah bercampur merkuri dan sianida.

Laporan Global Witness pada 2005 menyebut operasi tambang Freeport dijaga oleh militer Indonesia pada 1970-an untukj “menekan pemberontakan kemerdekaan orang Papua.”

Relasi Freeport dan jasa proteksi dari pasukan keamanan Indonesia mulai ditanggapi dengan serius oleh perusahaan setelah insiden penembakan di Mile 63 pada akhir Agustus 2002, menewaskan dua guru Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia, serta melukai sebelas orang lain. Antonius Wamang, dituduh gerilyawan Papua, dituntut sebagai aktor utama penembakan itu dan divonis penjara seumur hidup di pengadilan negeri Jakarta pada 2006.

Andreas Harsono, yang menyelidiki peristiwa penembakan dramatis itu bersama S. Eben Kirksey, antropolog AS yang meneliti Papua, dalam laporan investigasinya pada 2007 berjudul “Murder at Mile 63”, menulis bahwa Wamang tidak bekerja sendirian saat mendapatkan pasokan senjata untuk dipakai melancarkan aksinya. Ia menulis secara terang nama-nama aparat Indonesia, baik dari Polri maupun TNI, yang terlibat dalam transaksi senjata untuk Wamang di Jakarta.

Penyelidikan polisi mengabaikan keterlibatan kelompok di luar Wamang. Tetapi Freeport tidak bisa menutupi desakan para investornya untuk transparan soal dugaan mengucurkan dana buat jasa proteksi bagi aparat Indonesia. Pada akhirnya Freeport serius merespons desakan itu.

Laporan Global Witness dalam “Paying for Protection” merinci dugaan pihak mana saja yang kecipratan menerima biaya keamanan tersebut, termasuk menyebut angka 4,7 juta dolar pada 2001 dan 5,6 juta dolar pada 2002 untuk “ongkos keamanan” bagi polisi dan militer Indonesia.

Dalam konteks peristiwa terbaru di Timika sekarang, menurut Harsono, sudah sejak lama bila ada penembakan dari wilayah tambang Freeport selalu pelakunya bukanlah aktor tunggal. Sumber-sumber resmi dari Polri maupun TNI sering mempropagandakan pelakunya adalah “orang tak dikenal” dan belakangan “kelompok kriminal bersenjata.”

Di satu sisi, aparat keamanan Indonesia enggan mengakui istilah “TPN-OPM”, di sisi lain, tujuannya untuk menghapus “keterlibatan banyak aktor dengan banyak kepentingan” yang bermain di kawasan pertambangan tersebut.

NO SARA, NO OFFENSE, ADMIN BUKAN SIMPATISAN OPM ATAU SEJENIS NYA