Langit Makin Mendung adalah cerita pendek (cerpen) Indonesia yang kontroversial. Cerpen Diterbitkan di majalah Sastra dengan penulis yanh memiliki nama pena Kipandjikusmin pada bulan Agustus 1968, cerita ini mengisahkan tentang Nabi Muhammad turun ke Bumi bersama malaikat Jibril untuk menyelidiki sebab sedikitnya Muslim yang masuk surga.

Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Jumlah ini memberi pengaruh besar terhadap pembangunan Indonesia. Akan tetapi, jumlah umat yang besar digunakan untuk menjustifikasi dan mempromosikan jabatan politik. Penguasa masa kini memakainya untuk "mempertahankan status quo", sementara pihak yang mendesak perubahan memakai Islam sebagai jalan menuntut keadilan atau kepentingan politik lain. Hal ini mendorong terjadinya fragmentasi.

Pada awal 1960-an, Presiden Soekarno mendeklarasikan ideologi negara Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Nasakom akan melengkapi kebijakan Pancasila yang sudah ada. Deklarasi ini dipandang sebagai bukti meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga menciptakan konflik antara PKI dan militer.  PKI menyebarkan rumor bahwa dewan jenderal yang disponsori CIA berencana menjatuhkan pemerintahan sambil membawa-bawa bukti Dokumen Gilchrist.

Dalam cerpen ini, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad bosan tinggal di jannah (surga) dan lelah memuja-muji Allah, meminta izin kepada-Nya untuk kembali ke Bumi. Kecewa atas permintaannya, Allah meminta Muhammad menjelaskan sebab ia ingin kembali, padahal Allah sudah memberinya banyak hal. Muhammad menjawab bahwa ia ingin melakukan mengetahui penyebab sedikitnya jumlah Muslim yang masuk surga. Setelah melepaskan kacamata-Nya, Allah merespon bahwa mereka (manusia) telah diracuni kebijakan Nasakom Soekarno dan memberi izin kepada nabi.

Tidak lama kemudian, Muhammad berangkat dari bandara jannah menggunakan buraq (kuda bersayap). Malaikat Jibril menemaninya. Di tengah jalan, mereka bertemu wahana antariksa Soviet. Sempat mendengar bahwa mereka orang ateis, Muhammad pun menyelidikinya. Sayangnya, ia menabrak wahana tersebut, menghancurkan wahana dan buraq-nya, dan menewaskan tiga kosmonot. Muhammad dan Jibril berhasil mendarat di awan. Mereka kemudian melewati Jakarta. Jibril menyebut Jakarta sebagai tempat paling penuh dosa di Bumi. Muhammad marah dengan Jibril yang menyatakan bahwa dari 90 juta Muslim Indonesia, tidak sampai satu juta yang merupakan penganut sejati. Menghadapi fakta bahwa Jakarta adalah tempat kelahiran Nasakom, Muhammad menyatakan bahwa Islam tidak akan pernah mati dan ia pun menunggu di awan.

Sementara itu di Jakarta, wabah flu sedang menjangkiti penduduknya. Salah satu penderita penyakit ini adalah Presiden Soekarno. Ia menyurati Ketua Partai Mao Zedong agar mengirimkan dokter. Mao mengirim dokter yang kemudian meracuni Soekarno untuk melumpuhkannya dan membantu Gerakan 30 September menggulingkan pemerintahan. Racun yang lambat bereaksi ini membuat Soekarno pingsan setelah ia dan menteri-menterinya berpesta pora secara haram. Mereka melakukan seks bebas dan mabuk2kan dalam pesta.

Muhammad dan Jibril berubah menjadi elang supaya bisa melihat Jakarta. Mereka melihat prostitusi, perselingkuhan, pencurian, dan minum-minum. Muhammad terkejut melihat zina dan pencurian tidak dihentikan. Ia meminta Jibril membantunya merajam para pelaku perselingkuhan dan memotong tangan para pencuri. Jibril mengatakan bahwa batunya tidak cukup untuk merajam semua orang yang selingkuh dan pedang-pedangnya sudah diganti dengan senjata yang dibeli oleh para "kafir" Soviet dan Amerika Serikat yang "memuja-muja dolar". Mereka melihat seorang menteri bernama Togog yang berupaya memanfaatkan Dokumen Gilchrist untuk menjatuhkan Soekarno. Muhammad menyerah menghadapi Indonesia dan berencana memasang televisi di jannah.

Soekarno akhirnya sembuh dari racun tersebut dan diberitahu soal Dokumen Gilchrist. Ia juga diberitahu bahwa Cina menegosiasikan ulang perjanjian mereka untuk menyuplai senjata militer demi membantu konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Soekarno memakai Dokumen Gilchrist untuk menyebarkan rumor dan rasa tidak percaya di kalangan penduduk, memecat komandan militernya, dan memulangkan duta besar Cina.

Cerpen Langit Makin Mendung diterbitkan di majalah Sastra yang dipimpin HB Jassin pada Agustus 1968 dengan nama pena Kipandjikusmin. Cerita ini langsung menuai kontroversi. Sejumlah Muslim Indonesia menganggapnya penistaan dan pelecehan terhadap Islam. Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah personifikasi Allah secara antropomorfik, serta penggambaran Muhammad dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang dirasa "kurang menghormati". Cerita ini dilarang terbit di Sumatera Utara pada 12 Oktober dan beberapa grup remaja Islam menyerang kantor Sastra di Jakarta. Setelah berkali-kali diancam, Jassin dan editor pendampingnya Rachman mengeluarkan pernyataan maaf ke publik. Meskipun begitu, majalah ini tetap dilarang terbit. Tanggal 22 atau 25 Oktober 1968, Kipandjikusmin ikut meminta maaf lewat surat kabar Kami.

Pada bulan April 1969 atau Februari 1970, kantor Jaksa Agung di Medan menuntut Jassin dengan pasal penistaan agama karena menolak mengungkapkan nama asli Kipandjikusmin.  Di pengadilan, Jassin berpendapat bahwa cerita ini adalah hasil imajinasi penulis dan tidak bisa dianggap melecehkan Islam. Ia juga menyatakan bahwa beberapa penggambaran Allah secara fisik di Quran dan literatur Sufi serta pengaruh Kristen dari sang penulis. Seorang saksi dalam sidang ini, ulama dan penulis ternama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), mengatakan bahwa penggambaran Allah yang memakai kacamata menandakan Allah tidak sempurna, bertentangan dengan personifikasi versi Jassin yang didasarkan pada cinta manusia kepada Allah. Hamka kelak menyatakan bahwa tak seorang pun yang mampu memunculkan rasa kebencian terhadap Muhammad selain Kipandjikusmin sejak era Perang Salib. Jassin dijatuhkan hukuman percobaan selama satu tahun

Jassin mengungkapkan bahwa "Langit Makin Mendung", adalah imajinasi penulisnya, bukanlah dogma, sejarah, etika, atau realita objektif, namun sebuah karya yang berada di dalam dunianya sendiri. Hasilnya, Allah, Muhammad, dan tokoh agama lainnya hanya berupa tokoh fiksi dan tidak mewakili yang aslinya. Ia juga berpendapat bahwa "Langit Makin Mendung" tidak ditujukan sebagai penghinaan, melainkan kritik sosial tentang anggapan kesalahan dan korupsi pada masa pemerintahan Soekarno. Ia menyamakan "Langit Makin Mendung" dengan Divine Comedy karya Dante dan Javid Nama karya Allama Muhammad Iqbal yang berfokus pada perjalanan seorang manusia bersama pemandunya.