Grebeg Maulud merupakan tradisi di Solo & Jogjakarta yang digelar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. atau Maulid Nabi.

Kata grebeg atau garebeg pada Grebeg Maulud berasal dari kata gumrebeg, yang berarti “riuh” atau “ramai”, yang kemudian maknanya diperluas menjadi “keramaian” atau “perayaan”. Hal ini disebabkan karena pada setiap pelaksanaan tradisi grebeg disertai dengan arak-arakan oleh barisan prajurit kraton yang diiringi dengan iringan gamelan.

Grebeg Maulud terangkai dengan Sekaten. Terdapat dua pendapat mengenai makna Sekaten yaitu berasal dari istilah Sakati, yang merupakan nama dua perangkat gamelan kraton. Dalam konteks dakwah Islam, Sekaten berasal dari kata syahadatain yang dipraktikkan Wali Sanga sebagai asal-usul proses pengislaman di pulau Jawa. Wali Sanga adalah majelis keagamaan di Kesultanan Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa yang muncul menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit dan eksis pada perjalanan abad ke-15 (1475-1554).

Awalnya, Grebeg Maulud yang diprakarsai Sunan Kalijaga dilaksanakan dengan mengadakan tabligh atau pengajian akbar oleh para wali di depan Masjid Demak. Peringatan Maulid Nabi itu sekaligus juga menjadi ajang musyawarah tahunan para wali. Tetapi, Sunan Kalijaga rupanya sadar bahwa konsep semacam ini tidak cukup mampu menarik minat masyarakat yang mayoritas masih menganut ajaran lama (Hindu, Buddha, Kejawen, dll) untuk datang ke masjid.

Oleh karena itu, Sunan Kalijaga berinisiatif memasukkan unsur-unsur tradisi yang sudah sejak lama dipraktikkan oleh orang Jawa. Akhirnya ia menggunakan gamelan dan tari-tarian yang berkembang di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulud.

Di halaman masjid, ditempatkan seperangkat gamelan yang ditabuh untuk memancing perhatian warga. Kompleks masjid pun dihias dengan berbagai pernak-pernik yang menyegarkan mata. Orang-orang jadi penasaran dan berbondong-bondong menuju masjid milik Kesultanan Demak tersebut.

Orang-orang yang pada awalnya masih malu-malu diajak masuk ke dalam kompleks masjid. Namun, ada tata caranya. Sebelum masuk, mereka harus melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu diajari bersuci atau berwudhu. Dengan mengucapkan syahadat, maka orang itu sudah memeluk agama Islam.

Acara-acara keramaian semacam ini ternyata sangat digemari masyarakat Jawa dan misi Islamisasi ala Wali Sanga pun membuahkan hasil yang signifikan.

Sebelum Grebeg Maulud diselenggarakan, terdapat beberapa kegiatan adat yang dilaksanakan dalam lingkungan Kraton, seperti:
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.

Setelah itu, terdapat prosesi berebut Gunungan. Gunungan terbuat dari hasil bumi seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan makanan tradisional yang ditumpuk tinggi hingga berbentuk seperti gunung.

Gunungan ini dibawa oleh para pasukan keraton diiringi bunyi teriakan yang bersahutan dan diiringi suara tembakan. Gunungan memiliki makna Sultan harus melindungi rakyatnya.

Gunungan ini akan dibawa berkeliling melewati rute yang sudah ditentukan, kemudian akan diperebutkan oleh warga. Masyarakat percaya bahwa gunungan ini adalah simbol kemakmuran dan juga ucapan syukur atas hasil bumi yang melimpah.

Selama proses dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, perayaan Grebeg Maulud, mengalami berbagai perkembangan sesuai perkembangan zaman dan kebiasaan serta adat-istiadat Jawa di lingkungan kraton dengan segenap filosofi yang dikandungnya.