Pengorbanan atau persembahan sesajian adalah salah satu tradisi terpenting dalam agama Romawi kuno. Upacara ini merupakan perwujudan dari hubungan antara dunia dewata dengan manusia; atas pemberian makanan, minuman, wewangian, dan sebagainya, para dewa membalas dengan membantu serta melindungi penyembah mereka. Seperti yang dimengerti oleh umat Kristen awal dan penentang paganisme lainnya, menolak persembahan berarti menolak para dewa.

Tata cara persembahan Romawi bermacam-macam tergantung konteks dan jenis upacara, namun secara umum dibagi menjadi dua bentuk, pengorbanan berdarah/ hewan (bangsa Romawi sangat menolak pengorbanan manusia, dengan beberapa pengecualian[1]) dan pengorbanan tidak berdarah. Kedua bentuk pengorbanan ini secara kodrat sama, namun pengorbanan berdarah dianggap lebih prestigius dan umumnya diselenggarakan secara resmi, sementara pengorbanan tidak berdarah lebih banyak dilakukan secara pribadi. Salah satu bentuk pengorbanan tidak berdarah yang populer adalah supplicatio, yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih atau “syukuran” terhadap para dewa, umumnya dengan sesembahan dupa dan minuman anggur (libationes). Persembahan kepada para dewa selalu dibakar pada atau dekat dengan altar mereka, untuk membedakan dari konsumsi manusia.

Hewan yang dipersembahkan dalam persembahan berdarah atau immolatio bermacam-macam tergantung upacara yang dilakukan. Pada umumnya, hewan korban sesuai dengan dewa yang disembah; pengorbanan hewan betina dipersembahkan untuk dewi, hewan jantan untuk dewa, hewan utuh untuk dewa-dewa kesuburan dan hewan yang sudah dikebiri untuk dewa-dewa kematian. Pengecualian dari aturan ini adalah Jupiter, yang selalu menuntut lembu untuk persembahannya.

Persembahan hewan pada zaman Romawi umumnya berlangsung seperti ini. Pertama keheningan diperintahkan dan upacara dimulai dengan mantra “hoc age”—“perhatikan ini.” Pendeta yang menyelenggarakan upacara kemudian mengundang kehadiran dewa dengan doa yang didampingi persembahan kecil libationes ke dalam api altar. Setelah itu, korban persembahan ditaburi dengan mola salsa (tepung bergaram—juga merupakan asal kata immolatio), dibacai doa, dan dibunuh; kepalanya dibenturkan ke tanah terlebih dahulu dengan martil, kemudian lehernya disembelih. Organ-organ dalamnya lalu dikeluarkan dan diperiksa akan tanda-tanda kerusakan. Bila organ dalam hewan tersebut tidak sehat, persembahan harus diulang lagi dengan hewan yang baru. Bila tidak ada yang salah, maka organ-organ dalam beserta potongan kecil dari daging hewan tersebut dibakar di api altar, kemudian sisanya dibagikan kepada masyarakat.

Tradisi persembahan ini terus dilaksanakan dari zaman republik hingga kekaisaran, sampai akhirnya Kaisar Constantinus menetapkan agama Kristen sebagai agama nasional Romawi dan perlahan-lahan menekan paganisme tradisional.